وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
Sungguh aku terpukau dengan ayat ini..ayat yang akan merubah hidup aku 360 darjah..
5 ramadan 1435H 0630 pagi
Dalam ayat ini ada beberapa
hikmah dan rahasia serta maslahat untuk seorang hamba. Karena sesungguhnya jika
seorang hamba tahu bahwa sesuatu yang dibenci itu terkadang membawa sesuatu
yang disukai, sebagaimana yang disukai terkadang membawa sesuatu yang dibenci,
iapun tidak akan merasa aman untuk tertimpa sesuatu yang mencelakakan menyertai
sesuatu yang menyenangkan. Dan iapun tidak akan putus asa untuk mendapatkan
sesuatu yang menyenangkan menyertai sesuatu yang mencelakakan. Ia tidak tahu
akibat suatu perkara, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui
sesuatu yang tidak diketahui oleh hamba. Dan ini menumbuhkan pada diri hamba
beberapa hal:
1. Bahwa tidak ada yang lebih
bermanfaat bagi hamba daripada melakukan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala,
walaupun di awalnya terasa berat. Karena seluruh akibatnya adalah kebaikan dan
menyenangkan, serta kenikmatan-kenikmatan dan kebahagiaan. Walaupun jiwanya
benci, akan tetapi hal itu akan lebih baik dan bermanfaat. Demikian pula, tidak
ada yang lebih mencelakakan dia daripada melakukan larangan, walaupun jiwanya
cenderung dan condong kepadanya. Karena semua akibatnya adalah penderitaan,
kesedihan, kejelekan, dan berbagai musibah.
Ciri khas orang yang berakal
sehat, ia akan bersabar dengan penderitaan sesaat, yang akan berbuah kenikmatan
yang besar dan kebaikan yang banyak. Dan ia akan menahan diri dari kenikmatan
sesaat yang mengakibatkan kepedihan yang besar dan penderitaan yang
berlarut-larut.
Adapun pandangan orang yang bodoh
itu (dangkal), sehingga ia tidak akan melampaui permukaan dan tidak akan sampai
kepada ujung akibatnya. Sementara orang yang berakal lagi cerdas akan
senantiasa melihat kepada puncak akibat sesuatu yang berada di balik tirai
permukaannya. Iapun akan melihat apa yang di balik tirai tersebut berupa
akibat-akibat yang baik ataupun yang jelek. Sehingga ia memandang suatu
larangan itu bagai makanan lezat yang telah tercampur dengan racun yang
mematikan. Setiap kali kelezatannya menggodanya untuk memakannya, maka racunnya
menghalanginya (untuk memakannya). Ia juga memandang perintah-perintah Allah
Subhanahu wa Ta'ala bagai obat yang pahit rasanya, namun mengantarkan kepada
kesembuhan dan kesehatan. Maka, setiap kali kebenciannya terhadap rasa
(pahit)nya menghalanginya untuk mengonsumsinya, manfaatnyapun akan
memerintahkannya untuk mengonsumsinya.
Akan tetapi, itu semua memerlukan
ilmu yang lebih, yang dengannya ia akan mengetahui akibat dari sesuatu. Juga
memerlukan kesabaran yang kuat, yang mengokohkan dirinya untuk memikul beban
perjalanannya, demi mendapatkan apa yang dia harapkan di pengujung jalan. Kalau
ia kehilangan ilmu yang yakin dan kesabaran maka ia akan terhambat dari memperolehnya.
Tetapi bila ilmu yakinnya dan kesabarannya kuat, maka ringan baginya segala
beban yang ia pikul dalam rangka memperoleh kebaikan yang langgeng dan
kenikmatan yang abadi.
2. Di antara rahasia ayat ini
bahwa ayat ini menghendaki seorang hamba untuk menyerahkan urusan kepada Dzat
yang mengetahui akibat segala perkara serta ridha dengan apa yang Ia pilihkan
dan takdirkan untuknya, karena dia mengharapkan dari-Nya akibat-akibat yang
baik.
3. Bahwa seorang hamba tidak
boleh memiliki suatu pandangan yang mendahului keputusan Allah Subhanahu wa
Ta'ala, atau memilih sesuatu yang tidak Allah Subhanahu wa Ta'ala pilih serta
memohon-Nya sesuatu yang ia tidak mengetahuinya. Karena barangkali di situlah
kecelakaan dan kebinasaannya, sementara ia tidak mengetahuinya. Sehingga
janganlah ia memilih sesuatu mendahului pilihan-Nya. Bahkan semestinya ia
memohon kepada-Nya pilihan-Nya yang baik untuk dirinya serta memohon-Nya agar
menjadikan dirinya ridha dengan pilihan-Nya. Karena tidak ada yang lebih
bermanfaat untuknya daripada hal ini.
4. Bahwa bila seorang hamba
menyerahkan urusan kepada Rabbnya serta ridha dengan apa yang Allah Subhanahu
wa Ta'ala pilihkan untuk dirinya, Allah Subhanahu wa Ta'ala pun akan
mengirimkan bantuan-Nya kepadanya untuk melakukan apa yang Allah Subhanahu wa
Ta'ala pilihkan, berupa kekuatan dan tekad serta kesabaran. Juga, Allah
Subhanahu wa Ta'ala akan palingkan darinya segala yang memalingkannya darinya,
di mana hal itu menjadi penghalang pilihan hamba tersebut untuk dirinya. Allah
Subhanahu wa Ta'ala pun akan memperlihatkan kepadanya akibat-akibat baik
pilihan-Nya untuk dirinya, yang ia tidak akan mampu mencapainya walaupun
sebagian dari apa yang dia lihat pada pilihannya untuk dirinya.
5. Di antara hikmah ayat ini,
bahwa ayat ini membuat lega hamba dari berbagai pikiran yang meletihkan pada
berbagai macam pilihan. Juga melegakan kalbunya dari perhitungan-perhitungan
dan rencana-rencananya, yang ia terus-menerus naik turun pada tebing-tebingnya.
Namun demikian, iapun tidak mampu keluar atau lepas dari apa yang Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah taqdirkan. Seandainya ia ridha dengan pilihan Allah
Subhanahu wa Ta'ala maka takdir akan menghampirinya dalam keadaan ia terpuji
dan tersyukuri serta terkasihi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bila tidak, maka
taqdir tetap akan berjalan padanya dalam keadaan ia tercela dan tidak
mendapatkan kasih sayang-Nya karena ia bersama pilihannya sendiri. Dan ketika
seorang hamba tepat dalam menyerahkan urusan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan ridhanya kepada-Nya, ia akan diapit oleh kelembutan-Nya dan kasih
sayang-Nya dalam menjalani taqdir ini. Sehingga ia berada di antara
kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Kasih sayang-Nya melindunginya dari apa
yang ia khawatirkan, dan kelembutan-Nya membuatnya merasa ringan dalam
menjalani taqdir-Nya.
Bila taqdir itu terlaksana pada
seorang hamba, maka di antara sebab kuatnya tekanan taqdir itu pada dirinya
adalah usahanya untuk menolaknya. Sehingga bila demikian, tiada yang lebih
bermanfaat baginya daripada berserah diri dan melemparkan dirinya di hadapan
taqdir dalam keadaan terkapar, seolah sebuah mayat. Dan sesungguhnya binatang
buas itu tidak akan rela memakan mayat.